GARUDASATU.CO

Rencana Pembangunan Insinerator di Samarinda Seberang Masih Menyisakan Masalah

SAMARINDA-Rencana pembangunan insinerator di Jalan Sultan Hasanuddin, Kelurahan Baqa, Kecamatan Samarinda Seberang, masih menyisakan masalah meskipun telah dilakukan tiga kali pertemuan antara pihak kecamatan dan warga.

Warga yang telah kurang lebih 45 tahun bermukim di lahan tersebut menyatakan berat hati terhadap proyek pengelolaan sampah itu, lantaran dinilai mengancam keberadaan tempat tinggal mereka.

Mendengar hal tersebut memantik Komisi I DPRD Kota Samarinda untuk turun langsung ke lokasi untuk menyerap aspirasi masyarakat dan meninjau kondisi eksisting di lapangan.

Ketua Komisi I, Samri Shaputra, menegaskan bahwa kunjungan tersebut merupakan bentuk tanggapan serius atas laporan warga yang selama ini menghuni lahan milik pemerintah tersebut.

“Untuk itu jelas masyarakat ada sedikit keberatan atas rencana itu karena mereka merasa sudah lama mendiami tempat ini, sehingga agak keberatan,” ujar Samri.

Menurut Samri, keberatan warga merupakan respons yang wajar, mengingat banyak dari mereka telah membangun hunian permanen dan menetap selama puluhan tahun.

DPRD Samarinda berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mempertemukan pihak-pihak terkait dan mencari solusi yang berkeadilan. RDP ini diharapkan mampu mengkaji urgensi proyek insinerator, sekaligus mempertimbangkan alternatif lokasi lain yang tidak menimbulkan konflik sosial.

Samri juga menyoroti status hukum lahan yang saat ini diklaim sebagai aset milik Perumdam dengan estimasi luas mencapai 10 hektare. Ia menyebut, masyarakat pun tidak sepenuhnya menolak klaim kepemilikan tersebut, namun keberadaan mereka di lokasi tersebut didasari oleh asumsi bahwa tanah tersebut dulunya merupakan lahan kosong tanpa pengelolaan.

Namun, Samri menilai bahwa akar permasalahan justru terletak pada lemahnya pengelolaan aset oleh pemerintah di masa lalu. Ketidaktegasan dan minimnya pengawasan sejak awal dinilai turut berkontribusi terhadap terbentuknya kawasan permukiman padat penduduk di lahan yang seharusnya dilindungi sebagai aset negara.

“Masalah tanah itu muncul biasanya 10 atau 20 tahun mendatang, bukan setahun dua tahun. Ini sudah dibiarkan, sampai membangun rumah permanen, ada yang sudah sampai meninggal di sini, beranak pinak, baru kemudian tiba-tiba mau dipindahkan. Ini kan berat rasanya,” tegas Samri.

Samri juga menekankan pentingnya menjadikan polemik ini sebagai pelajaran strategis bagi pemerintah untuk lebih disiplin dalam menjaga aset daerah ke depan, serta memastikan setiap program pembangunan tidak melahirkan persoalan sosial baru.

Loading

Print this entry

BAGIKAN:

TINGGALKAN KOMENTAR ANDA

BERITA TERKAIT