SAMARINDA-Sebanyak 4.014 perguruan tinggi negeri dan swasta, yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, mendeklarasikan dukungan serta menyatakan siap membantu menyukseskan program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dhia Al Uyun mengatakan jika sikap ini jelas membuktikan kelatahan kampus untuk kepentingan penguasa atau menjadi stempel bagi kekuasaan yang anti rakyat.
“Penundukan kampus ini membuat pembiaran kekerasan, premanisme, arogansi dan keserakahan merajalela. Alih-alih menjadi mesin produksi pengetahuan bagi kepentingan rakyat banyak, kampus justru menjadi pengaman kepentingan kuasa, membiarkan kan pekerja-pekerjanya menjadi obyek eksploitasi kapitalisme pendidikan. Manifesto SPK mengecam pembiakan kampus untuk kepentingan kekuasaan,” ujar Dhia Al Uyun Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini, Sabtu(16/8/2025).
Dhia Al Uyun menyampaikan pertama, dengan cara menebar jaring utang piutang politik melalui proses pemilihan rektor. Kekuasaan menyandera rektor dengan presentase suara 35 persen yang mereka miliki. Hal ini didesain dengan sempurna dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) huruf a Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 21 Tahun 2018 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, yang menyebutkan bahwa pemilihan dilakukan dengan ketentuan Menteri memiliki 35% hak suara dari total pemilih yang hadir.
“Jadi suara Menteri yang mewakili kepentingan kekuasaan, dibarter dengan “kepatuhan”. Kedua, dengan cara menggoda sivitas akademika untuk merapat pada kekuasaaan, dengan cara menawarkan jabatan-jabatan basah dan menggiurkan,” bebernya.
Masih lanjut Dhia sebut saja pos jabatan di kementerian, staf ahli, hingga pimpinan BUMN dan BUMD yang dibungkus dengan normalisasi rangkap jabatan. Kekuasaan membunuh akal sehat para intelektual kampus dengan uang, pragmatisme dan menumbuhkembangkan premanisme di lingkungan pendidikan untuk mendapat posisi strategis dalam lingkar kekuasaan.
“Jadi tidak mengherankan jika hampir setiap program pemerintah yang bahkan “tidak masuk akal”, selalu menggunakan kampus sebagai stempel dan legitimasinya. Mereka bahkan menjadi semacam “wastafel kekuasaan” yang ditugaskan untuk mencuci dan mengaburkan dosa-dosa yang diproduksi kekuasaan secara brutal,” pungkasnya.
Oleh karena, Serikat Pekerja Kampus (SPK), menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Mengajak Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia untuk sadar akan fungsinya menyelamatkan akal sehat dan kritis pada kebijakan serta menghentikan fungsinya dalam stempel kekuasaan.
2. Kampus tidak boleh dikooptasi dan diperalat kekuasaan. Kampus jangan dijakan wastafel kekuasaan yang dipaksa untuk mencuci dosa-dosa kekuasan dan seluruh keputusan-keputusannya yang anti rakyat!
3. Kampus harus menjadi alat kontrol kekuasaan, bukan dijadikan alat legitimasi. Oleh karenanya, kampus harus menjaga jarak dan berposisi kritis terhadap kekuasaan!
4. Menyerukan kepada para pekerja kampus, mahasiswa, kawan-kawan bersama untuk berteriak menolak upaya-upaya normalisasi menjilat kekuasaan dan mewaspadai penjinakan terstruktur yang membodohi akal sehat.