JAKARTA-Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutus bersalah Heru Hidayat melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU dalam perkara Asabri. Namun, putusan tersebut tidak berisi hukuman pidana penjara, padahal tuntutan Penuntut Umum adalah hukuman mati.
Menanggapi hal itu, Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menegaskan bahwa putusan tersebut aneh dilihat dari aspek rasa keadilan masyarakat. Ia juga menyebut, putusan tersebut menciderai nalar hukum.
“Putusan ini jauh dari tuntutan pidana dari penuntut umum dan menciderai nalar hukum. Karena orang yang merugikan negara dengan sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara,” terang Suparji dalam keterangan persnya.
Ia juga menjelaskan bahwa putusan tersebut memang harus dihormati, namun patut dikritisi. Salah satu yang perlu dieksaminasi adalah pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam surat dakwaan, yang kemudian menjadi dasar tidak diberinya sanksi pidana.
“Hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural namun bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat,” terangnya.
“Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp. 16,7 Triliun. Akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat dalam kasus Asabri padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp. 22,7 Triliun,” sambungnya.
Suparji juga menilai Hakim terkesan tidak melihat akibat yang mungkin terjadi apabila Heru Hidayat menggunakan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan perkara tipikor AJS yang untuknya dijatuhi hukuman seumur hidup. Dan putusan peninjauan kembali tersebut, umpamanya memutuskan dengan hukuman pidana penjara 10 tahun atau 15 tahun.
“Itu artinya Pengadilan telah memutuskan 2 (dua) perkara tipikorAJS dan Asabri dengan total kerugian keuangan negara sekitar Rp. 39 Triilun dengan hukuman pidana yang teramat ringan yaitu 10 tahun atau 15 tahun,” ulasnya.
Suparji Ahmad mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim. Upaya Hukum Banding ini, menurut Suparji merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.
“Kita berharap Putusan Banding nantinya Hakim akan progersif dan mengutamakan keadilan substantive untuk mengobati rasa keadilan masyarakat yang terluka atas putrusan tingkat pertama,” pungkasnya.
Sebab, jika menilik ketentuan pasal 193 ayat 1 Kuhap, apabila hakim menyatakan terdakwa bersalah maka terdakwa dijatuhi pidana. Putusan a quo nyatakan perbuatan terdakwa terbukti mestinya dipidana bukan nihil. Sesuai ps 240 kuhap putusan itu keliru sehingg jaksa meski banding.
“Putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan mengingat perbuatan terdakwa sangat rugikan negara, masyarakat/nasabah dan berulang. Seandainya hakim tidak sependapat dengan tuntutan jpu, mestinya hukuman bersyarat lebih memenuhi ketentuan hukum acara dg tetap jatuhi hukuman. Bersyarat maksudnya, dihukum seumur hidup dg syarat tidak perlu dijalani apabila putusan sebelumnya (AJS) tidak ada pengurangan hukuman. Bila ini ditempuh merupakan bentuk progesivitas putusan hakim,” tukasnya.
Sumber: Puspenkum Kejaksaan Agung Republik Indonesia | Editor: Slamet Pujiono