Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Ir H Seno Aji M.Si (foto: istimewa)
SAMARINDA-Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) masih menantikan keputusan dari Kementerian Perhubungan mengenai usulan pengalihan kewenangan pengelolaan alur kolong Jembatan Mahakam di Samarinda.
Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, menjelaskan bahwa jika pengelolaan tersebut diserahkan kepada Pemprov, maka hal ini akan memberikan dampak positif bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Sungai Mahakam memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan PAD Kaltim, terutama pada sektor perairan dari hulu hingga ke muaranya,” ujar Seno Aji, Rabu (14/5/2025).
Ia menambahkan bahwa selama bertahun-tahun, Kaltim tidak memperoleh pemasukan apa pun dari aktivitas pelayaran kapal yang melintas di bawah Jembatan Mahakam I.
Sehubungan dengan hal tersebut, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud telah melakukan pertemuan dengan Kementerian Perhubungan guna membahas rencana pengalihan pengelolaan alur kolong Jembatan Mahakam I kepada Perusahaan Daerah (Perusda) Kaltim.
“Apabila Perusda Kaltim diberi kewenangan mengelola alur tersebut, maka pendapatan dari aktivitas pelayaran kapal akan masuk ke kas daerah,” jelasnya.
Adapun hasil pertemuan terakhir dengan Kementerian Perhubungan masih dalam tahap pembahasan internal di kementerian tersebut.
“Kami berharap dalam satu hingga dua minggu ke depan sudah ada kepastian. Jika kewenangan tidak diberikan kepada daerah, maka Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor ini pun tidak akan kami peroleh,” ungkap Seno.
Seno juga menegaskan, apabila pengelolaan alur kolong Jembatan Mahakam I diserahkan kepada Pemprov Kaltim, maka pemerintah daerah siap mengambil alih tanggung jawab, termasuk perbaikan fender jembatan dan aspek pengelolaan lainnya.
“Kami ingin jembatan ini menjadi aset daerah agar segala bentuk pengelolaan, mulai dari jembatan, fender, hingga pengaturan pelayaran kapal, dapat dilakukan oleh pemerintah daerah,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa saat ini pengelolaan masih berada di tangan pemerintah pusat, namun justru daerah yang harus menanggung biaya iuran asuransi.
“Situasi ini menimbulkan dilema bagi kami, karena di satu sisi daerah harus menanggung beban biaya, namun di sisi lain tidak mendapatkan bagian dari hasil pengelolaan tersebut,” pungkas Seno Aji.