GARUDASATU.CO,JAKARTA-Secara virtual dari Gedung Menara Kartika,Selasa(19/7/2022), Jaksa Agung Burhanuddin menjadi keynote speaker pada Seminar Nasional dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa ke-62 Tahun 2022 dengan topik “Konsolidasi Keadilan Restoratif Indonesia” dengan narasumber Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pudjiono, S.H., M.H., Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Prof. Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H., Peneliti Kebijakan Publik URS Andreas N. Marbun, S.H., LLM., UNODC Country Manager Indonesia Office Mr. Collie Brown, Peneliti Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D.
Dalam pemaparannya, Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa mengikuti perkembangan masyarakat yang mendambakan adanya perubahan terhadap paradigma pemidanaan, yang hanya memandang pemidanaan sebagai pembalasan guna memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, saat ini paradigma pembalasan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia mulai bergeser menuju paradigma restorasi, yang lebih dikenal dengan paradigma keadilan restoratif atau restorative justice.
“Tujuan utama dari keadilan restoratif adalah pencapaian keadilan yang seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman. Implementasi keadilan restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana adalah sejalan dengan Deklarasi PBB tahun 2000 tentang Prinsip-Prinsip Pokok Penggunaan Program-Program Keadilan Restoratif dalam Permasalahan-Permasalahan Pidana, yang juga dipertegas oleh Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan. Model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah, yaitu dianggap tidak humanis dan tidak memiliki kemanfaatan hukum,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menyampaikan pada hakikatnya, keadilan restoratif adalah suatu paradigma atau pendekatan dalam pemecahan masalah hukum, yang dalam berbagai bentuk dan caranya melibatkan korban, pelaku, lingkungan sosial, lembaga peradilan dan masyarakat. Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa tindak pidana tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menyebabkan kerugian pada korban dan masyarakat.
“Oleh karena itu, setiap upaya untuk menangani dampak yang ditimbulkan dari suatu tindak pidana, sudah semestinya melibatkan pelaku serta pihak-pihak lainnya yang dirugikan, sambil juga mendorong dan memberikan dukungan kepada korban dan juga pelaku untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menyampaikan, pendekatan Keadilan Restoratif dalam penegakan hukum pidana, saat ini telah menjadi istilah yang populer dalam penegakan hukum di Indonesia. Kalangan akademisi, penegak hukum dan praktisi memandang bahwa Pendekatan Keadilan Restoratif merupakan salah satu alternatif jawaban terhadap permasalahan penegakan hukum di Indonesia.
“Nilai keadilan restoratif, menurut hemat kami, lebih dari hanya sekedar mengurangi pengulangan proses terjadinya korban tindak pidana atau viktimisasi. Keadilan restoratif pada dasarnya berfokus pada upaya membangun kembali hubungan, pertanggungjawaban atas kerugian dan pemulihan yang diakibatkan oleh terjadinya viktimisasi,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung melanjutkan, nilai yang tidak kalah penting dalam pendekatan keadilan restoratif, adalah menempatkan para pihak yang berperkara dalam satu forum pemecahan masalah, yang memungkinkan secara langsung pelaku tindak pidana dapat mendengar atau melihat sendiri, bagaimana dampak viktimisasi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana kepada korban, tidak hanya sekedar menyalahkan pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya.
Hal ini, tentunya akan berdampak, di masa depan akan berkurang terjadinya perkara yang serupa dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian akan timbul penyatuan timbal balik antara pelaku dan korban.
Selain nilai-nilai keadilan restoratif, masih ada dua nilai yang tidak kalah penting dalam keadilan restoratif, yaitu
Nilai pemulihan dan penyembuhan bahwa sesepakatan yang dibuat dalam pendekatan keadilan restoratif, antara lain bertujuan untuk membangun kapasitas orang, dalam hal ini pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam terjadinya viktimisasi.
Di samping itu, juga mendorong pelaku tindak pidana untuk memberikan kontribusi positif kepada korban, serta meningkatkan hubungan baik dengan masyarakat sehingga terjadi kedamaian kembali.
Kemudian Nilai Kompensasi atau penyelesaian perkara yang sesuai dengan keinginan korban, yaitu keadilan restoratif memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemenuhan kepentingan korban termasuk yang menjadi perhatian adalah keselamatan korban.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah berbeda dengan apa yang terjadi dalam sistem peradilan pidana. Dalam keadilan restoratif, terdapat fasilitas bagi korban untuk menentukan berbagai hal termasuk model penyelesaiannya.
Sementara itu dalam Sistem Peradilan Pidana korban harus menerima apa pun keputusan yang dibuat oleh hakim di pengadilan, walaupun dapat terjadi keputusan itu jauh dari yang diharapkan oleh korban.
“Berdasarkan apa yang telah saya paparkan sebelumnya, dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini, bahwa inti sari dari nilai keadilan restoratif adalah partisipasi, saling menghargai, kejujuran, kerendahan hati, keterkaitan, akuntabilitas, pemberdayaan, dan harapan yang dapat diterapkan dalam bentuk pelaksanaan keadilan restoratif, sebagai salah satu mekanisme penyelesaian perkara pidana yang terjadi di masyarakat,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menegaskan bahwa kunci dari penyelesaian perkara pidana dengan keadilan restoratif sebagai sebuah paradigma atau pendekatan pemidanaan adalah diharapkan dapat menjadi alternatif penanganan tindak pidana yang mengedepankan pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku tindak pidana dan korban serta mengakomodir nilai-nilai dasar yang terkandung dalam keadilan restoratif.(*)