GARUDASATU.CO

Beda Pendekatan Mahakam dan Karang Mumus, DPRD Kaltim Dorong Sinergi Tangani Banjir Samarinda

SAMARINDA – Polemik penanganan banjir di Kota Samarinda kembali mencuat ke ruang publik. Kali ini, perbedaan sudut pandang muncul antara Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud dan Wali Kota Samarinda Andi Harun dalam menentukan titik tekan penanganan banjir yang kerap melumpuhkan ibu kota provinsi tersebut.

Gubernur Rudy Mas’ud menilai pengerukan Sungai Mahakam sebagai kunci utama pengendalian banjir. Menurutnya, pendangkalan sungai induk itu telah memperlambat aliran air dari hulu ke hilir, terutama saat debit air tinggi dan pasang laut bersamaan.

Sebaliknya, Wali Kota Samarinda Andi Harun menegaskan bahwa lokalisasi dan penataan aliran Sungai Karang Mumus (SKM) harus menjadi prioritas, mengingat sungai tersebut merupakan jalur utama limpasan air dari kawasan permukiman dan wilayah perkotaan Samarinda.

Perbedaan pendekatan ini ditanggapi tenang oleh Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Abdul Giaz. Ia menilai, kedua pandangan tersebut sama-sama benar dan justru saling melengkapi.

“Keduanya tidak salah. Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus itu satu sistem. Karena itu, penanganannya tidak bisa dipisahkan,” ujar Giaz saat ditemui awak media di Samarinda, belum lama ini.

Menurut Giaz, persoalan banjir di Samarinda bukan sekadar soal teknis, tetapi juga menyangkut pembiayaan besar dan kewenangan lintas pemerintahan. Karena itu, kolaborasi antara Pemerintah Provinsi Kaltim dan Pemerintah Kota Samarinda menjadi faktor penentu keberhasilan.

“Penanganan banjir itu mahal. Tidak bisa hanya mengandalkan satu level pemerintahan. Koordinasi dan pembagian peran menjadi kunci utama,” tegas politisi Partai NasDem tersebut.

Ia menjelaskan, Sungai Karang Mumus merupakan anak Sungai Mahakam. Artinya, sebaik apa pun penataan SKM dilakukan, dampaknya akan terbatas jika Sungai Mahakam sebagai muara tetap dangkal dan tidak mampu menampung debit air secara optimal.

Sebaliknya, pengerukan Mahakam juga tidak akan maksimal jika aliran dari SKM masih semrawut dan tidak terkelola dengan baik.

“Kalau SKM dibenahi tapi Mahakam dangkal, air tetap tertahan. Kalau Mahakam dikeruk tapi SKM tidak tertata, limpasan dari kota tetap bermasalah. Jadi harus simultan,” jelasnya.

Giaz mendorong agar Gubernur Kaltim dan Wali Kota Samarinda duduk bersama untuk menyusun prioritas bersama. Pemerintah kota, menurutnya, perlu memetakan kebutuhan paling mendesak di lapangan, sementara pemerintah provinsi dapat memperkuat dari sisi anggaran, program strategis, maupun dukungan lintas sektor.

“Bukan soal siapa lebih benar, tapi bagaimana menyatukan program. Dengan begitu, anggaran tidak tumpang tindih dan hasilnya bisa dirasakan masyarakat,” ujarnya.

Ia juga menanggapi pandangan sebagian masyarakat yang menyebut perbaikan SKM akan sia-sia jika Sungai Mahakam tidak dibenahi. Menurut Giaz, pandangan itu ada benarnya, namun tidak boleh dijadikan alasan untuk saling menyalahkan.

“Itu justru mempertegas bahwa dua-duanya harus dikerjakan bersama. Bukan dipertentangkan,” katanya.

Selain persoalan sungai, Giaz mengingatkan bahwa penanganan banjir Samarinda juga harus menyentuh aspek lain, seperti pembangunan dan pemeliharaan drainase, normalisasi aliran air, serta pengawasan terhadap aktivitas yang merusak kawasan resapan.

Alih fungsi lahan yang tidak terkendali, pembangunan di daerah rawan banjir, hingga lemahnya pengawasan lingkungan, menurutnya, turut memperparah persoalan yang sudah ada.

“Banjir itu akumulasi banyak faktor. Sungai, drainase, tata ruang, sampai perilaku kita sendiri. Semua harus masuk dalam satu kerangka kerja bersama,” katanya.

Ia menegaskan, DPRD Kaltim siap menjadi jembatan komunikasi dan pengawasan agar sinergi antara provinsi dan kota benar-benar terwujud.

“Yang kita butuhkan adalah keselarasan. Provinsi dan kota harus benar-benar klop, agar persoalan banjir ini tidak terus berulang dan bisa ditangani secara tuntas,” pungkas Giaz.

MIN | ADV DPRD KALTIM

Loading

BAGIKAN:

TINGGALKAN KOMENTAR ANDA

BERITA TERKAIT