GARUDASATU.CO

HMI Politani Bedah Film So Hok Gie: Menguji Idealisme Mahasiswa di Tengah Bayang-Bayang Oligarki

Samarinda– Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Politani Cabang Samarinda menggelar bedah film So Hok Gie, yang tidak sekadar membahas perjalanan seorang aktivis, tetapi juga menjadi ruang refleksi tentang perbedaan gerakan mahasiswa masa lalu dan sekarang, Kamis(27/3/2025) dini hari.

Acara ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, dan aktivis yang berdiskusi tentang idealisme, perlawanan terhadap oligarki, serta tantangan dalam membangun gerakan tanpa intervensi kekuasaan.

Aktivis Dulu vs. Sekarang: Masihkah Mahasiswa Beridealisme?

Diskusi dimulai dengan pertanyaan mendasar: Apakah aktivis hari ini masih memiliki idealisme atau hanya mengikuti arus keuntungan? Kontradiksi antara perjuangan mahasiswa era So Hok Gie dengan kondisi saat ini menjadi perdebatan utama.

Ketua Umum HMI Komisariat Politani, Arianto, menyampaikan bahwa film ini harus menjadi pengingat bahwa perjuangan mahasiswa bukan sekadar kritik kosong, tetapi harus disertai aksi nyata.

“Jangan sampai kita hanya sibuk mengkritik tanpa benar-benar melawan. Sejarah sudah membuktikan bahwa keberanian mahasiswa dalam bertindak adalah kunci perubahan,” tegasnya.

Refleksi: Melawan Kemunafikan Pemerintahan

Salah satu isu utama yang dibahas adalah bagaimana membangun perlawanan tanpa takut intervensi. Diskusi ini menyoroti fenomena aktivisme yang mulai terkooptasi oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Rahmat Mahasiswa Uinsi, salah satu peserta diskusi, menggarisbawahi bahwa inti dari perjuangan So Hok Gie adalah semangat kemanusiaan dan keindonesiaan, bukan sekadar kepentingan kelompok atau ideologi tertentu.

“Hari ini, apakah mahasiswa masih memiliki idealisme, atau justru ikut menikmati keuntungan dari sistem yang kita kritik?” ujarnya.

Selain itu, dibahas juga bagaimana kebencian dan kecintaan yang berlebihan dapat merusak perjuangan, sebagaimana dikatakan dalam film bahwa “berhati-hatilah dengan cinta, karena itu bisa merusak segalanya.”

UU TNI dan Kemunduran Demokrasi

Diskusi semakin dalam ketika membahas isu terbaru, yakni pengesahan UU TNI yang dinilai bermasalah. Para peserta mempertanyakan beberapa hal:

Mengapa RUU ini tiba-tiba dimasukkan ke dalam Prolegnas?

Mengapa pembahasannya dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont?

Apa urgensi mendesak dari pengesahan UU ini?

Meski belum semua peserta memahami detail tentang dwifungsi ABRI, mereka sepakat bahwa cara pengesahan UU ini bermasalah karena tidak melibatkan elemen masyarakat. Beberapa menilai bahwa aturan ini lebih condong untuk memperpanjang karier TNI di ranah sipil.

Sabarno pemuda Samarinda, menambahkan bahwa idealisme sejati adalah perlawanan tanpa intervensi, tanpa takut tekanan dari pihak mana pun.

“Hidup adalah soal keberanian. Jika kita tidak memiliki keberanian untuk melawan, maka pergerakan hanya menjadi romantisme sejarah,” tambahnya, mengutip pemikiran So Hok Gie.

Kesimpulan: Bangun Gerakan, Lawan Kemunafikan

Diskusi ditutup dengan refleksi mendalam tentang bagaimana membangun gerakan mahasiswa yang murni, tidak terkooptasi, dan tetap kritis terhadap kekuasaan.

Ahmad Ketua Umum Komisariat FEB Untag 45, salah satu peserta, menegaskan bahwa gerakan mahasiswa hari ini harus belajar dari strategi pergerakan era Gie.

“Kita berbeda dengan angkatan 66 dalam hal pergerakan dan propaganda. Tetapi, esensinya tetap sama: melawan ketidakadilan. Pertanyaannya, apakah kita cukup berani?” tutupnya.

Bedah film ini bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi juga membangkitkan kesadaran bahwa perjuangan masih panjang. HMI Komisariat Politani menegaskan komitmennya untuk terus mengawal isu-isu krusial dan memastikan mahasiswa tetap menjadi pilar kritis di tengah tantangan zaman.

Loading

BAGIKAN:

[printfriendly]
[printfriendly]

TINGGALKAN KOMENTAR ANDA

BERITA TERKAIT

BERITA POPULER

REKOMENDASI

Copyright© PT Garudasatu Media Indonesia