GARUDASATU.CO, SAMARINDA-Bertempat Aula lantai 8 Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, dalam rangka memperingati Hari Bhakti Adhyaksa ke 63, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, Kamis(13/7/2023) menggelar Seminar Nasional dengan tema “Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Yang Merugikan Perekonomian Negara” secara daring dan luring.
Kegiatan seminar ini dibuka oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Hari Setiyono, SH.MH yang dihadiri oleh para Asisten, Kabag TU, para Koordinator dan seluruh Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, para Kajari beserta para Jaksa se Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, para Hakim pada Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dan Pengadilan Negeri Samarinda, Perwakilan dari OJK Provinsi Kalimantan Timur, Kaprodi Magister Hukum beserta para mahasiswa pada Universitas Mulawarman, para tokoh agama dan masyarakat, serta para peserta Duta Pelajar Sadar Hukum Kalimantan Timur.
Dalam kegiatan tersebut bertindak selaku Narasumber dalam kegiatan ini adalah
1. Dr. Ivan Zairani Lisi, SH. S.Sos, M.Hum (Kaprodi Magister Hukum Universitas Mulawarman)
2. Dr. Eddy Parulian Siregar, SH.MH (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur)
3. Darius Naftali, SH.MH (Ketua Pengadilan Negeri Samarinda)
4. Adi Setyo (Kepala Subbagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen pada Kantor OJK Provinsi Kalimantan Timur)
dengan moderator Rischa, SH dan Evi Hasibuan, SH.MH (Koordinator pada Kejati Kaltim)
“Kegiatan seminar ini diselenggarakan dalam rangka menyambut hari Bhakti Adhyaksa yang ke 63 dan diselenggarakan secara serempak oleh Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia,” ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Hari Setiyono SH,.MH melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim Toni Yuswanto SH,.MH.
Hal ini setidaknya dapat dimaknakan sebagai bentuk semangat kebersamaan bagi insan adyaksa untuk membangun solidaritas dalam optimalisasi pelaksaaan wewenang, tugas dan fungsi Kejaksaan, terutama dalam konteks ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam sambutannya Kajati Kaltim menyampaikan Tema “Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Yang Merugikan Perekonomian Negara.”
“Dirasa sangat tepat ditengah gencarnya Kejaksaan Agung dalam mengungkap dan menangani Tindak Pidana Korupsi yang berskala besar dan berdampak tidak hanya kepada kerugian keuangan negara namun pada skala perekenomian negara, hal tersebut ditandai dengan berhasilnya Kejaksaan Agung mengungkap dan membuktikan adanya kerugian perekenomian negara dalam beberapa perkara diantaranya Tindak Pidana Korupsi Pemberian Fasilitas Ekspor Minyak Sawit Mentah (CPO) dan turunannya pada Januari-Maret 2022 dengan total kerugian keuangan negara sebesar Rp 6,04 Triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 12,31 Triliun dan Tindak Pidana Korupsi Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Oleh Pt Duta Palma Group Di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,79 Triliun Dan 7,8 Juta Dollar AS, serta kerugian perekonomian negara sebesar Rp 73,92 Triliun,” bebernya.
Kemudian, terdapat kasus korupsi Impor Besi Atau Baja, Baja Paduan Dan Produk Turunannya Tahun 2016-2021 dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,06 Triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 22,6 Triliun dan jauh sebelumnya Kejaksaan Agung juga telah membuktikan adanya kerugian perekonomian negara dalam Tindak Pidana Korupsi Ekspor Tekstil Atas Nama Terdakwa Irianto sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 4952 K/Pid.Sus/2021.
Lebih lanjut Kajati Kaltim menyampaikan pembuktian kerugian perekonomian negara dipandang perlu untuk mengubah paradigma lama penanganan tindak pidana korupsi yang hanya menitikberatkan kepada pemulihan kerugian keuangan negara sedangkan di sisi lain kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum menjadi pedoman standar penanganan oleh Aparat Penegak Hukum Di Indonesia.
Hal ini menimbulkan tingkat pemulihan keuangan negara seringkali tidak sebanding dengan Opportunity Cost Dan Multiplier Economic Impact yang timbul sebagai akibat terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
“Hukuman Finansial yang ada saat ini belum merefleksikan penanganan korupsi dengan cara yang luar biasa, sehingga tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemulihan ekonomi Indonesia secara baik,” jelas Toni.
Padahal secara normatif, terkait unsur merugikan perekonomian negara dalam perkara Tindak Pidana Korupsi telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai unsur alternatif dari merugikan keuangan negara.
Yang mana hal tersebut disebabkan adanya keraguan atau belum ada batasan bagi Penegak Hukum untuk menentukan kerugian perekonomian negara secara nyata (Aktual), selain itu dalam praktek penanganan perkara masih terdapat cara pandang yang berbeda baik antara Aparat Penegak Hukum itu sendiri maupun dengan lembaga auditor dalam menilai dan menentukan adanya perekonomian negara.
“Melalui seminar ini diharapkan kendala dan hambatan dalam pembuktian perkara Tindak Pidana Korupsi yang berakibat kerugian perekonomian negara dapat diminimalisir sehingga optimalisasi kewenangan Kejaksaan dalam mengungkap dan membuktikan Tindak Pidana yang berakibat pada kerugian perekonomian negara dapat diterapkan tidak hanya di Kejaksaan Agung namun semangatnya sampai ke wilayah Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri sehingga hak – hak ekonomi masyarakat dapat terjamin dan dapat terlindungi dengan baik dan berdampak pada sirkulasi perekonomian di masyakat serta tidak terganggu dengan kepentingan individu, kelompok dan golongan yg hanya mencari keuntungan sesaat,” pungkasnya.