JAKARTA- Kontroversi terkait pencalonan Edi Damansyah sebagai Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) kembali mencuat.
Tim hukum pasangan calon bupati dan wakil bupati, Edi Damansyah-Rendi Solihin, mengklaim bahwa Edi masih dapat maju dalam Pilkada Kukar 2024. Namun, klaim tersebut menuai kritik keras dari tim hukum Dendi Suryadi-Alif Turiadi (Deal).
Hendrich Juk Abeth, SH. MHum, ketua tim hukum Deal, menyatakan bahwa klaim dari tim hukum Edi Damansyah-Rendi Solihin adalah upaya yang menyesatkan publik.
“Pernyataan yang disampaikan oleh tim hukum pasangan calon bupati dan wakil bupati Kukar, Edi Damansyah-Rendi Solihin, adalah pendapat yang telah menyesatkan publik dan tidak mencerdaskan masyarakat dalam konteks hukum dan politik,” ujar Hendrich dalam keterangannya.
Hendrich menjelaskan bahwa persoalan ini sebenarnya sudah dipertimbangkan dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023, yang menolak permohonan Edi Damansyah.
“Keputusan MK tersebut bersifat mengikat dan tidak hanya berlaku bagi pemohon, tetapi juga untuk publik secara keseluruhan. Ini merupakan prinsip hukum yang dikenal sebagai erga omnes,” tegasnya.
Tim hukum Deal juga menyoroti bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 dan PKPU Nomor 10 Tahun 2024 telah mengatur jelas mengenai periode jabatan kepala daerah.
Edi Damansyah, menurut mereka, sudah menjabat sebagai Bupati Kukar selama dua periode, yaitu periode 2016-2021 dan periode 2021-2026.
“Edi Damansyah memulai jabatan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kutai Kartanegara pada 9 April 2018 dan Bupati definitif pada 14 Februari 2019, dimana Plt maupun definitifnya dilantik dan Ia kemudian terpilih kembali untuk periode 2021-2026. Ini berarti, ia telah menjabat selama dua periode penuh,” ungkap Hendrich.
Lebih lanjut, Hendrich juga menanggapi penggunaan surat edaran dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Bawaslu yang dijadikan dasar hukum oleh tim hukum Edi Damansyah-Rendi Solihin.
Ia menegaskan bahwa surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiga (3) putusan MK yakni putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2023 dan PKPU.
“Norma hukum yang diatur dalam MK dan PKPU bersifat jelas, limitatif, dan tuntas sehingga menurut prinsip clara non sunt interpretanda yang sudah jelas tidak dapat ditafsirkan lagi dan adagium hukum juga mengatakan jika teks atau redaksi undang – undang telah jelas dan terang benderang, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran
terhadap kata-kata yang jelas berarti penghancuran hukum atau interpretatio
cessat in claris, interpretation est perversio. Maka demikian tidak perlu ada penafsiran dan surat edaran tidak bisa mengesampingkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat,” tambahnya.
Hendrich juga mempertanyakan sejauh mana Bawaslu akan menjunjung tinggi prinsip independensi dan ketidakberpihakannya dalam kasus ini.
“Jika benar bahwa surat edaran Bawaslu digunakan sebagai dasar hukum oleh tim hukum Edi Damansyah, maka kami mempertanyakan prinsip-prinsip independensi dan ketidakberpihakan Bawaslu sebagai lembaga yudisial nantinya terkait sengketa apabila terdapat keberatan akan hal ini. Bawaslu harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik dan senantiasa berpegang pada aturan dan prinsip hukum” ujar Hendrich.
Kontroversi ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman yang tepat mengenai aturan hukum dalam proses Pilkada.
Tim hukum Deal berharap agar masyarakat tidak disesatkan oleh informasi dan pandangan hukum yang tidak akurat dan tetap menghormati keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.
Sebagai penutup, Hendrich mengingatkan agar semua pihak, terutama yang terlibat langsung dalam Pilkada, tetap mematuhi peraturan yang ada dan tidak berspekulasi demi kepentingan politik tertentu.(*)